Walau kilau sang mentari tengah menari-nari dipupilku hingga berakomodasi dengan cepatnya, terlebih hangatnya sinar sang suryapun membelai kulit kuning langsatku. Namun tetap saja aku merasa kedinginan. Badanku rasanya panas dingin. Makin mantap dengan kombinasi nyeri otot leher dan rasa ngilu dibahu. Kok hari ini begini banget ya, berkali-kali hati ini mengeluhkan hal itu. Jumat, katakan hari ini adalah hari itu. Hari ke-5 dalam seminggu, hari favoritku karena dihari itu aku dapat puas melihatnya. Kakakku tercinta, sebenarnya hampir satu setengah semester ini kami dekat layaknya lawan jenis pada umumnya. Tapi entah fikiran apa yang merasuk kala itu, hingga kami putuskan untuk jadi kakak adik saja. Setiap mengingat realita itu, hati ini cuma bisa menggerutu Mau Dibawa Kemana (Armada band) hubungan kami ini?
Les bahasa Jepang dan hari Jumat selalu persatukan kami. Tapi 2 bulan ini, terasa sangat berbeda. Kakak sudah punya pacar lagi setelah beberapa saat yang lalu putus, terlebih dia dekat dengan teman les bahasa Jepang kami. Telisik terselidik nih, sii gadis sukanya sudah tingkat tinggi, entah apa yang kakak beri padanya sampai begitu banget. Aku sudah kenal baik dengan sii gadis, dan dia juga pernah bilang kalau akan melupakan kakak. Lupa sih lupa tapi kok status-statusnya di FB semua buat kakak. Ketemu kakak aja langsung update status. Adhek mana yang nggak naik pitam melihat kakaknya punya penggemar kaya’ gitu. Berulang kali aku juga ingatkan kakak supaya nggak memberikan harapan pada gadis-gadis yang suka padanya. Namun selalu saja nasihatku tidak digubris dengan jawaban cuek bebeknya, bahkan seringkali ia berdalih cuma berteman. Bagaimana mungkin begitu banyak gadis mendambanya, sedangkan kakak tidak pernah benar-benar serius memikirkan mereka semua? (termasuk aku). Apa seorang pria tidak akan mengerti ketulusan sebelum ia menjadi seorang suami. Aku cuma nggak ingin kakak dijudge PLAYBOY. Halah... makin menambah deritaku saja. Aduh, lagi-lagi rasa ngilu dileher dan bahu ini menghantui Jumat pagi cerahku. Aku cuma butuh minyak kayu putih untuk mengangkat semua beban ini. Capek hati, capek pikiran dan capek fisik. Kuambil botol mungil minyak kayu putih yang merknya sudah mendapatkan top brand dari dalam saku bajuku. Kuteteskan di telapak tangan, belum sempat pori-pori kulitku merasakan hangatnya olesan minyak kayu putih. Suara sii cerewet merusak segalanya.
“Biru!!! Kabar buruk...”
Jerit Senris sianambi menepuk bahuku dari belakang. Aku yang tersiksa makin susah saja karena tabiatnya itu. Gara-gara tersentak kaget sii mungil yang kugenggam sedari tadi, terhempas jauh tak berdaya.
“Ya... tumpah!!!”
Refleks aku segera berlari mengambil si mungil tak berdaya. Sementara, sang tersangka utama malah marah dan ngomel seenaknya.
“Haduh... Minyak kayu putih!!! Aku nggak suka!!! Pusing!!! Pusing!!!”
Cuap-cuap Senris sambil menutup hidung peseknya. Rasain, toh aku nggak sengaja kok. Dasar emang hiperaktif aja itu anak.
Minyak kayu putih yang tadinya tinggal setengah botol,sekarang tinggal beberapa tetes saja. Yang lain tumpah percuma dilantai rumah keduaku, kelas X-C. Hiruk pikuk saudara-saudariku terpecahkan oleh senyum simpul manis Mia yang baru saja datang. Aku dan Mia punya kisah cinta serupa tapi tak sama. Satu gadis yang sama terlibat dalam 2 kisah cinta berbeda. Tiwi, gadis berkulit putih halus dan berambut lurus denagn gestur kurus ini adalah sii gadis yang masuk kedalam cerita cintaku dan Mia. Kami sepakat untuk rela walau tidak ikhlas kalau-kalau Tiwi sama kakak ataupun mantan Mia. Tapi masalahnya sii Tiwi ini tidak tulus pacaran sama mantannya Mia. Udah punya pacar tapi tetap aja masih ngarepin kakak. Nah, disinilah kami perlu kerjasama untuk memberi sedikit pelajaran pada Tiwi. Sempat terpikir dibenakku alangkah baiknya jika Tiwi bersama kakak saja agar Mia bisa balikan sama mantannya. Namun relakah aku? Tentu tidak. Begitu rumitnya cinta begini (Tangga). Senyum manisnya menyapaku dengan kehangatan.
“Biru, bagaimana jadi kan?”
Senyumnya makin melebar ketika ia berucap.
“Eh jadi apaan Mi?”
Sahutku santai sambil memasukkan sii mungil kedalam saku kanan seragam pramukaku. Haduh, pikunku kumat lagi.
“Nanti waktu les Jepang kamu jadi duduk berdua kan sama kakak? Biar Tiwi cemburu!!!”
Senyum lebarnya tadi menjadi gelak tawa sinis penuh penderitaan. Aku faham betul apa yang Mia rasakan, walau begitu, jelas ini bukan salah Tiwi , kakak ataupun mantan Mia. Tapi semua ini sudah menjadi kehendak-NYA.
“Doain aja ya, tapi kalau diharapkan banget kaya’ gini, biasanya bakal gatot (gagal total)”
Jawabku sinambi mengambil ponselku disaku sebelah kiri.
“Pasti, aku benar-benar ingin dia sadar dan jujur sama tony...”
Kali ini tawanya terhempas berganti wajah sendu. Kemarahan yang terendap dalam relung hatinya. Jika boleh berharap, para malaikat haruslah mengamini doa Mia pagi ini.
“Tenang, semua indah pada waktunya!!!”
Hiburku pada Mia lalu menerbangkan senyuman getir yang ia balas dengan tatapan penuh balas berpadu senyum sekenanya.
Detik berganti menit, menit menjelma jam. Bunyi bising bel tanda waktu istirahat selesai memecahkan semua kemurungan jiwa ini. Dari jam pertama aku terus berkutat dengan layar dan keypad ponsel jadulku ini. Hampir 25 pesan yang sama dikirim kakak kepadaku. Halah... sedangkan tak satupun pesan balasanku sukses terkirim padanya. Dasar operator error. Semakin pupus saja harapan ini. Padahal kuingin merangakaikan asa Mia tapi aku malah putus asa. Tanpa pikir panjang lagi, kumatikan ponselku dan melahap materi Matematika bab Trigonometri yang semakin membuat pikiranku ruwet untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi bunyi bel bising tanda pulang sekolah menghapus semua keruwetan pikiran ini. Kunyalakan ponselku, keadaannya tak berubah dari semula.
“Ayo anterin aku kegerbang depan, kamu kan nggak pulang, mana habis ini mau les bareng sama kakak. ihir, ihir, senagnya ...”
Omel Tiva tanpa dosa.
“Cerewet!!!”
Bentakku pada Tiva yang terus mengomel manja ala boneka barbie.
“Kamu kejam... Kenapa sih?”
Tanyanya polos.
“Ini Hpku eror!!! Jadi nggak bisa ngasih kabar kekakak... Gatot!!!”
Gerutuku sambil terus memencet-mencet keypad ponselku. Lalu senyum simpul manis itu menyapaku dengan hangat untuk keduakalinya.
“Biru semangat ya!!!”
Untuk keduakalinya senyuman simpul manis Mia menyapaku dengan hangat kali ini matanya jauh lebih berbinar-binar daripaada tadi pagi.
“Beres!!! Tenang aja”
Balasku dengan senyuman getir. Apa boleh buat terpaksa berbohong demi kebaikan. Padahal semua asa itu telah terbang keangkasa, cuma ada satu keajaiban yang dapat membuat asa itu terkabul. Lamunanku terus saja bergulat dengan alam bawahsadarku. Hingga aku tak sadar ada sebuah panggilan masuk. Beberapa detik kemudian, lamunanku telah sirna tertiup getaran ponsel jadul ini yang semakin meronta-ronta meminta di angkat. Didalam kesulitan pasti adsa kemudahan, 100% aku percaya hal itu. Kyaaa!!! Kakak meneleponku...
“Tiva!!! Kakak telepon ini... Haduh...”
Bukannya mengangkat telepon, justru aku berteriak kegirangan kearah Tiva.
“Assalamualaikum...”
sapaku dengan hati yang berdebar.
“Walaikumsalam...”
Suara yang tidak asing lagi, suara besar dengan kombinasi kelembutan dan serak-serak basah khasnya kakak.
“Kamu pulang dulu apa langsung les Jepang?”
Tanyanya dengan nada terburu-buru.
“Aku nggak pulang!!! Ikut jumatan dulu!!” Jawabku pelan, kali ini jantungku makin berdebar.
“Aku titip gitar tunggu disitu!!!”
“Eh? Maksudnya apa?”
.Gara-gara berdebar-debar jadi nggak bisa berfikir jernih.
“Aku... titip gitar dikelas kamu!!!” kali ini nadanya makin terburu-buru.
Satu detik, dua detik, tiga detik...
Kami saling berdiam diri, dan kulancarkan gurauan ringan...
“Walaikumsalam...”
“Ha..ha... iya-iya walaikumsallam...”
Gelak tawanya begitu terasa nyata meski kakak berada diujung sana. Tapi emang pulsanya nggak habis. Beda operator lo!!! (Kaya’nya dapet bonusan telepon)
Seperempat jam menunggu kakak yang tak kunjung menampakkan sosoknya. Kusandarkan tubuh ini pada bahu Tiva, mencoba mentransferkan kekecewaan mendalam jiwa ini pada handai tolan terbaikku.
“Mana sih kakakmu? Emang ngesot kesini?”
Keluhnya sambil beranjak dari posisi duduknya. Aku yang sedari tadi nyaman dibahunya jadi terkejut. Halah.... kakak...kakak...
“Ya udah, ayo tak anterin kegerbang!!! Aku langsung ke Masjid, kurang asem kakak!!!”
Kuantar sahabatku ini ke gerbang. Lantas berjalan menju ke Masjid. Kali ini giliranku yang menggerutu disepanjang jalan menuju masjid. Begitu sampai di serambi masjid kujumpai sosok yang selalu malang melintang dibenak ini.
“Kakak...”
kecapku tanpa suara.
Ia balas kecapan kedap suaraku dengan senyum simpul manis khasnya. Amarah yang membara ini, sirna begitu saja berganti kesejukan yang tentramkan hati. Halah... Masjid ini masjid Biru!!! jangan tergoda oleh setan. Malaikat dalam hati ini segera menyadarkanku. Makin sadar dengan basuhan air suci yang lebih menentramkan hati daripada senyuman kakak tadi. Khutbah yang terdenagr lirih dalam kalbu merasuki jiwa yang suram dan muram. Lalu shalatlah seluruh jamaah tuk dirikan tiang agama kami, ajaran Islam. Semakin sempurna dengan pengajian Hikam yang kali ini di kelas XI-IA5. Tadi aku sudah mengisyaratkan pada kakak bahwa aku ikut pengajian dan ia mengangguk pelan. Tapi tak kujumpai sosoknya saat pengajian berlangsung. Kamu dimana?
Satu jam berlalu dan jam diponselku telah menunjukkan pukul 13.30, aduh... udah mulai ini lesnya. Aku bergegas keluar dan menyebar pandangan kesetiap penjuru sekolah yang sepi. Berjalan lurus kearah lapangan basket utama dekat aula atas. Hanyalah perasaan yang menuntunku, tuk temukan sosoknya, jikalau perasaan ini tepat mungkinkah Ada Cinta (Ost. Heart Acha feat Irwansyah) diantara kami? Entahlah, mungkin cinta persaudaraan. Munculah rambut kaku hitam yang tingkat kelurusannya tidak diragukan lagi dari balik dinding tangga aula atas. Itukah kakak?
Melihat kakak dari enggel sampig semakin mendebarkan jantung ini. Rahangmu yang kokoh berpadu hidung mancung menjorok keluar dan kulit putih halus itu...
Belum pernah aku melihatmu sedetail ini, jantung ini berhenti berdebar lalu sedetik kemudian berdebar hingga serasa vena dan arteriku sedang bermain kucing-kucingan.
Mata kami saling berkedip seolah mengisyaratkan tunggu disitu dan aku akan mengahampirimu. Aku berjalan kearahnya dengan membawa ranselku yang berat sekali seperti membawa batangan logam dan tak lupa menjinjing helm berwarna biru berpadu motif kupu-kupu. Kami berjalan berdua menuju ruang TU pembayaran SPP, berharap sensei ada dan kami segera kekelas untuk les. Tapi tak ada sosok beliau yang ada hanyalah karyawan-karyawan TU yang berkutat dengan komputer didepan mereka hingga tak menyadari keberadaan kami.
“Langsung ke atas aja!!!”
Seru kakak sambil melangakah maju meninggalkanku. Kami tidaklah berjalan berdampingan bahkan juga tak bergandeng tangan. Namun kurasakan percikan kecil dan aneh yang mengusik hati ini. Inikah Cinta Pertama? (Bunga Citra Lestari) Seiring jalan, kami makin mendekat hingga tak kusdari aku tepat disampinganya, kami terus berbincang tanpa peduli sekitar. Bahkan tasku yang berat tadi, terasa ringan tertiup angin. Kami sampai di depan kelas X-I , tak ada satupun sosok teman les Jepang kami, yang ada hanya anak ekskul musik yang sepertinya mengenal kakak yang asyik bersendau gurau dengan beberapa anak akselarasi.
“Asan!!! Jadi sekarang sama yang ini...”
Seru Dino kepada kakak tanpa tahu kebenaran hubungan kami.
“............”
Kakak hanya diam membisu, seolah hanya dengan menggelengkan kepala dan tersenyum saja dapat menjelaskan kebenaran hubungan kami. Halah, aku nggak peduli. Kuketuk pintu kelas X-I tak lupa dengan salam dan menebar seyuman malu karena datang terlambat keseisi kelas itu. Tiwi...
Dia sedang duduk bertiga sambil memandangi labtopnya. Sekilas ia melihatku dan terlihat terguncang saat melihat sosok dibelaknagku. Dia pasti tidak menyangka kami berangkat berduaan saja. Kalaupun bertiga, pasti sii setan tidak menampakkan wujudnya. Aku langsung memilih bangku baris kedua pada banjar yang sama pula. Sebelah kursi kosong disamping kursiku distulah Tiwi dengan teman-temannya. Sementara kakak terlihat duduk manis tepat dibelakangku. Tapi bodohnya ia, aku tak menyangka, ia berpindah tempat disebelahku dan sebelah Tiwi tentunya. Anehnya tak secuwil senyuman ataupun sapaan dari Tiwi. Padahal kan dia maniak banget kekakak.
“Hii... sombong banget”
Gerutu kakak lirih saat mulai kuda-kuda bersiap untuk duduk disampingku.
“Sapa dia duluan...”
Perintahku pada kakak sambil melirik kearah Tiwi yang terlihat berapi-api.
“Nggak mau!!!”
Tolaknya bringas. Kukeluarkan buku biru usang yang lecek dan kubuka halaman 18. Kakak yang tidak punya buku, pastilah akhirnya mengungsi padaku. Wow, tak pernah kami sedekat ini. Cuma berjarak nggak lebih dari 5 cm. Kyaaaaaaa!!! Rasanya seperti tersambar petir disiang bolong. Kami mulai mengobrol sendiri dan membiarkan sensei terus menerangkan tanpa hentinya. Mulai bicara dari A sampai Z bahkan dari yang geje (Nggak Jelas) sampai yang serius. Kakak mengeluh tentang ulangan harian fisikanya yang mendapat nilai 25, aku sedikit tertawa geli dan mengatakan bahwa aku dapat nilai 30. Dan tertawalah kami berdua, gelak tawa tak berakhir disitu. Ia keluarkan sebuah KTP. Aku mengira itu punyanya. Tapi praduga itu salah. Ia juga mengeluarkan kartu pelajarnya. Meletakkan kedua kartu itu berjajar tepat dihadapanku.
“Mirip kan?” Tanyanya antusias.
“Hemmm... nggak!!! Ini siapa?”
Aku malah bertanya balik sambil terus menganlisa kedua sosok yang ada di kartu tersebut.
“Itu masku!!! Miriplah!! Cuma masku agak gendut!!!”
Dia berargumen dengan bangganya.
“Ah... nggak!!! Jangan-jangan kamu anak pungut?”
Aku sedikit menahan tawa saat melihat mimiknya. Kami terdiam dan tertawa untuk kesekian kalinya. Sensei semakin tidak kami anggap. Habisnya aku dan kakak tidak hafal hiragana sih...
Haduh... lagi-lagi ngilu otot leherku kambuh, terlebih dadaku aga’ sesak. Beginilah derita terserang flu, kukeluarkan si mungil dari dalam sakuku dan meneteskannya ditelapak tangan kananku. Huft... simungil cuma tinggal tetes terkhir. Kakak hanya memperhatikanku. Hingga aku kembali mengawali obrolan kami.
“Aku kaya’ nenek-nenek kak... kemana-mana bawa minyak kayu putih”
Kataku sambil terus mengoleskannya dileherku dibalik kerudungku.
“Siniku juga sakit... pijetin dhek!!!”
Ceplosnya sambil menyentuh bagian pundak kanannya.
“Heh? Didepan umum gini?”
Reaksiku makin membuat obrolan kami menggelikan.
“Loh? Sebagai adhek yang baik kamu harus menuruti perintah kakaknya!!!” Celotehnya diiringi tawa getir dengan secuwil kekecewaan.
“Halah...”
Jawabku sinis. Lalu ia ambil si mungil dan meneteskan tetesan terakhir sii mungil dijari telunjuknya yang lentik dan panjang. Hmm... batinku merenung santai. Untuk apa jika hanya setetes?
Mengejutkan!!! Sebenarnya kakak salting (Salah tingkah) atau maya (Mati Gaya) sih. Masa’ ia oleskan telunjuknya tadi kepelupuk matanya. Orang bodoh selalu bertindak ceroboh. Memangnya itu sebuah kenikmatan, pasti panas sensasinya...
Sejujurnya geli sekali melihat tingkah kakak, aku melihatnya dalam-dalam hingga mata kami bertemu pandang.
“....................................”
Jantung ini berhenti berdebar, semakin kutatap dalam matanya dan pancaran matanya menbuat segalanya berubah, seolah aku tengah melihat sosokku dicermin. Matanya sama dengan punyaku. Mata kepedihan yang disembunyikan dibalik senyuman pilu. Ketulusan macam apa ini? Tak pernah kurasakan hal semacam ini. Ketulusan yang memluk erat-erat hati ini, seolah meminta aku menyayanginya dan selalu ada disisinya. Kini aku menyadari satu hal penting bahwa aku memang tidaklah banyak tahu tentang kakak tapi aku telah mengetahui satu hal yang banyak orang tidak mengetahuinya. Kakak, bibirku membeku terpaku oleh tatapan mautmu, hanya terdengar lirih derap langkah kaki sensei yang menuju kebangku kami. Sesegera mungkin kupalingkan pandangan dan membalik-balik buku usang yang sedari tadi jadi saksi bisu perbincangan kami. Secara serta merta sensei telah mengakhiri debaran jantung yang tak karuan ini. Satu Jam Saja(Lala Karmeela) begitu dengan kakak mungkin jantung ini akan meledak. Halah...
Berangkat bersama, pulangpun juga harus begitu. Kyaaa!!! Saat-saat yang sangat menyenangkan. Kali ini kami tak sungkan berdampingan seolah dua pasangan sejoli. Berjalan menuju rumah keduaku. Kuambil kamus Bahasa Inggrisku yang ketinggalan. Menakjubkan, ia bawakan kamus 6 Triliunku walaupun aku yang memintanya. Kami terus saja berbincang seolah tak rela bila saat-saat indah ini berakhir. Kami melintas disamping kolam yang baru saja dan sedang dalam proses pembangunan, bertemu beberapa teman les Jepang kami.
“San sepeda motormu dimana?”
Teriak pak Anto, satpam sekolah kami pada kakak. Kakak tidak begitu respect, Namun ia segera berlari berbarengan dengan ejekan konyol teman-teman.
“Pacaran terus!!! Sampai lupa sepedanya!!!”
Seru Hepta sambil menggandeng erat Raya seolah menyindir aku dan kakak.
“.......................” Ah... aku talkless nih.
Beberapa saat kemudian kakak kembali disisku. Bersamamu (Vierra) adalah Saat Bahagia (Pasha Ungu feat Andien) yang tak mungkin kulupakan karena akhirnya aku bisa mengungkap Rasa Ini (Vierra) . Asa bahagiaku terpecah oleh ejekan Hepta lagi.
“Gandengan dong...”
Ucapnya sambil berjalan nyelonong mendahului kami berdua.
“............................”
Sesaat kami tersenyum sambil terus melangkah maju menuju kebahagiaan.
“Ah... sudahlah!!! Biarlah dunia berkata apa?? Yang penting kita tidak...”
Kataku lirih tanpa berani menatap wajah kakak yang sedikit tertunduk. Sejujurnya aku menyesalinya, bukan tempatnya aku berkata demikian ketika kami tengah berjalan mesra seolah dunia milik kami berdua.
Sampai didekat aula atas, suara itu terdengar memanggil kakak jauh lebih lantang dari sebelumnya.
“Hey Asan!!! Ini kunci gerbangnya!!! Sepeda motormu kekunci le!!!”
Seru pak Anto dengan logat Jawanya yang khas.
Kakak sedikit tertegun memandangku lantas memberikan kamus 6 triliyunku pada diri ini...
“Bawa’en dulu...”
katanya tanpa ekspresi, lalu segera berlari kearah pak Anto.
Tiga menit kemudian kami kembali bersama dan berjalan menuju parkiran. Menggelikan, satria kesayangan kakak tengah berdiri sendiri meratapi nasib dicampakkan sang pemilih. Miris dan sedikit histeris melihat motor kakak. Benda seperti itu adalah hal nomor 4 terpenting dalam hidup kakak. Harusnya aku yang nomor 5. Halah..
Kakak mengeluarkan satrianya, aku memandang kosong padanya. Membayangkan bagaimana jika aku dibonceng. Kyaaaa!!! Nggak mau Takut (Viierra) adhek.
“Ayo... bareng?”
Ajaknya sambil tertawa getir, karena sudah pastilah aku akan menolaknya. Tiga kali ini, ia menawariku dan aku terus menolaknya sejak dulu. Maaf kak...
Didepan gerbang tak kujumpai sosok ibunda, malah bertemu dengan teman SMPku dan tentunya teman kakak juga. Mereka terus mengobrol sementara aku terus menengok kekanan dan kekiri jalan. Hingga teman kami ini bertanya polos
“Kalian habis ngapain? Ekskul?”
Tanya Gumelar santai.
Kami tak kunjung menjawab, lagi-lagi kami berpandang dan tersenyum geli satu sama lain.
“Habis bantu-bantu pak Anto...”
Jawabku sambil terus tertawa.
“Loh...”
Gumelar jelas mengetahui itu kebohongan belaka, tapi pasti dia juga akan begitu bila jadi kami berdua. Sepuluh menit berlalu , ibunda tak kunjung datang menjemput daku. Gumelarpun beranjak pulang. Dan tinggalah aku dan kakak. Sedikit aneh kali ini. Semilir angin seolah jadi intro bahagainya kisah kami.
“Ngomong-ngomong anda ngapain ya?”
Kataku ketus sambil melirik penuh canda pada kakak yang duduk dengan gagahnya di sepeda motornya.
“..............”
Ia tersenyum saja, tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Lalu memutar kunci motornya.
“Oke... Adios...”
Kali ini kakak akan berbahasa Spanyol. Tapi kusela begitu saja. Aku tidak suka dengan hal itu.
“Walaikumsalam...”
Kataku polos.
“Ha..ha... iya... iya walaikumsalam..”
Ia beranjak pulang diiringi senyum tulusnya.
Hari ini, aku takkan melupakannya. Hari saat kamu meneleponku, menungguku, duduk denganku, memintaku, menertawaiku dan menemaniku. Hari saat aku melihat ketulusanmu, menolongmu, menyaksikan kamu dimarahi pak satpam, melihat tertegun senyummu dan juga tatapanmu tadi.
Hari saat kami sepakat tidak akan kuliah di Malang, sepakat bersama, sepakat berdua dan semua obrolan kita. Jumat untuk diingat dan dikeramatkan. Aku sayang, sayang sekali pada kamu kakak...
Bersenandunglah hati ini dengan terus mengingat-ingat saat bahagia bersamamu...
J ikalau hati kita terus terhubung
U ntuk bersama dan berdampingan
M aukah kamu selalu ada untukku?
A ku mau untuk ada disisimu selalu..
T idak akan kulupakan hari ini...
D irimu hanya dirimulah...
A ku dan hanyalah aku..
N an indah bila bersatu
K akak dan adhek..
A ku disampingmu selalu..
K amu juga disampingku kan?
A ku mengingatmu..
K akak juga kan?