Tak terbesit apapun dibenakku kecuali rasa sebal yang beberapa hari ini terus saja ia lontarkan padaku. Sejujurnya aku mengagumi sikapnya yang super cuek dan selalu tabah dalam menghadapi berbagai masalah. Bukan tabah? Mungkin bisa dibilang pasrah. Senyumannya kala itu masih terpatri dimemeoriku. Bisa-bisanya ia tersenyum lebar saat menceritakan ponselnya yang Raib entah kemana. Lalu saat ia putus dengan pacarnya, saat nilai ulangannya jelek. Hampir tak ada goresan ekspresi melas diparasnya yang ayu. Dari ketiga temanku, bisa dibilang aku yang paling muda dan berpikiran kanak-kanak, sering kali mereka mengggodaku dan aku maklum terhadap hal itu.
Namun lelucon yang satu ini, aku sama sekali tidak suka. Kenapa? karena ia mengikut-ikutkan ibuku. Bermula kunjungan kerja kelompk kerumahku. Seperti layaknya ibu-ibu yang ramah. Mama menjamu mereka dengan baik. Tapi memang berlebihan sedikit. Menceritakan hal-hal tidak penting tentangku. Alhasil aku sedikit malu dan risih.
Terlebih saat sebuah radio menyala dan megalunlah lagu yang beken dikalangan remaja. Berdendanglah mama megikuti alunan musik yang sangat cozy. Besoknya ia berkata ibuku lebih gaul dariku yang kolot ini. Haduh, sekali tak apa ia menyebutnya. Tapi kumohon jangan didepan teman-teman yang lain, cukup diantara kami berempat saja. Ah!!! Aku sebal. Itu sama saja tak menghargai ibuku.
Waktu berlalu dengan cepat sampai aku lupa dengan rasa sebal itu dan presepsiku terhadapnya. Terik matahari cukup menyengat kala itu. Aku berjalan lemas keluar dari lingkungan sekolah, ternyta mama sudah ada didepan. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung naik kematic dan mama melaju dijalnan yang renggang. Seperti biasa kami selalu berbincang.
“Dhek, Rin sekarang pakai matic ya?”
“Iya… baru itu ma..”
“Tadi mama ketemu, dia langsung turun, terus salim kemama…”
“Eh…” Aku terdiam, bukan karena tak mendengar ucapan mama. Tapi teringat pada rasa sebal dan presepsiku yan salah tentangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar